UA-83233104-1

Monday, 29 August 2016

Membangun Budaya Sensor Mandiri Demi Mencegah Produk Anak Nakal di Era Digital


BUDAYA SENSOR MANDIRI

Membangun Budaya Sensor Mandiri Demi Mencegah Anak Nakal di Era Digital
Budaya Sensor Mandiri. Berkaitan dengan Budaya Sensor Mandiri, saya akan bercerita dulu tentang percakapan anak saya dan temannya (usia 8 th). Keduanya bermain, membawa: alat masak-masakan, boneka, dan beberapa atributnya.

 “Jez, ambil itu!” perintah temannya. Nadanya tinggi.

Jeza (anak saya), hanya diam saja. Wajahnya berubah muram.

Ayo cepetan ambil kok, bawa ke sana! Nggak ngerti-ngerti aja ini!”. Ia mengulang perintahnya.

Meski saya ikut dongkol menyaksikan ini, tapi saya bertahan untuk tidak mencampurinya. Saya hanya melihatnya dari jauh.

Iya .. iya …” jawab Jeza sambil membawa mainan. Saya menangkap sorot mata tidak suka.


Maaf, saya tidak menceritakan kelanjutannya ..... cerita di atas hanya ssebagai contoh tentang karakter.

Melihat ini saya jadi teringat akan adegan salah satu sinetron yang pernah saya lihat. Bagaimana gaya bicara seseorang agar menjadi merasa "di atas" temannya. Ia sebagai tokoh otoriter, dominan agar bisa berbuat semaunya.

Memang sich, tidak semua perilaku anak terbentuk dari tontonan tv saja. Namun film bisa menjadi sumber inspirasi bagi perilaku seseorang lho? Jika yang ditonton baik, maka bisa mempengaruhi anak untuk bersikap lebih baik, misalnya: patuh orang tua, taat beribadah, menyayangi binatang, mencintai sesama, serta sikap positif lainnya. Dan terjadi sebaliknya jika film yang ditontonnya tidak baik.

Film baik, dapat memberikan pengaruh positif bagi penontonnya. Sedangkan kategori film tidak baik dapat mengubah, mempengaruhi, atau menginpirasi seseorang untuk berbuat tidak baik. Misalnya anak menjadi nakal, suka membantah, bersikap agresif, mau menang sendiri, dan sebagainya.

Terbayang nggak, bahwa bisa jadi  karakter anak adalah hasil bentukan dari aneka tanyangan TV yang mereka tonton, maaf bukan dari ibunya. Ini jika interaksi anak dengan TV lebih banyak dari pada interaksi dengan sang ibu. Pernah nggak melihat orang tua dibuat kaget oleh ulah anaknya, "Kok gini ya sekarang? Padahal dulu baik, penurut?" ... *semoga tidak. Perlu diingat, bahwa anak adalah peniru ulung pada apa yang dia lihat. Terutama karakter tokoh yang ada dalam film yang bisa jadi bersifat negatif.

Bagaimana mengatasi ini? Haruskah membatasi anak menonton TV?

Ironis. Kini tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun menyukai film. Harus diakui bahwa film memiliki sumbangan besar dalam membangun karakter generasi bangsa. Melalui film kita mendapat banyak pengetahuan. Film memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, kondisi kejiwaan dan perilaku anak, terutama dalam proses pembentukan pola pikir dan sikap. 

Ini “PR” bagi kita. Dan orang tua memiliki andil besar dalam pembentukan “Produk” anak.

Budaya Sensor Mandiri
Baru-baru ini saya menghadiri sebuah seminar dan workshop Excite Indonesia Roadblog 10 Cities di Surabaya. Salah satu narasumber adalah bapak Ahmad Yani Basuki, ketua dari LSF (Lembaga Sensor Film) Republik Indonesia.

Dari sini saya tahu bagaimana LSF bekerja. Kita wajib bersyukur karena LSF  yang menangani sekaligus menjadi filter bagi setiap adegan film yang akan tayang. Jika tak ada sensor, entah menjadi seperti apa mental generasi ini?

LSF lahir berdasarkan dari UU perfilman yang menyebutkan bahwa, film sebagai karya seni budaya yang memiliki peran, meningkatkan kelestarian budaya bangsa dan kesejahteraan lahir batin memperkuat ketahanan nasional. Selain itu, film juga menjadi media komunikasi yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi, serta pembentukan akhlak.

Tentang kerja LSF?

LSF melakukan sensor film dan iklan film sebelum tayang. Yaitu dengan cara:
  1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan wajib memiliki sertifikat lulus sensor dari lembaga sensor.
  2. Memberikan tanda lulus sensor pada film atau iklan film setelah melalui proses sensor. Karena jika tidak maka akan ada ketentuan hukum pidana tentang perfilman sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2009 pasal 80.
Kebiasaan Menonton Film

Dulu orang tua memiliki waktu banyak mendampingi anak. Kini semua berubah, 180 derajat. Orang tua tidak mau lagi repot berurusan dengan anak. Mereka sibuk dengan gadget, demikian pula anak.
Jika dulu satu keluarga bisa nonton TV rame-rame. Kini tidak lagi. Tontonan TV dapat dikases melalui gadget, dimana hampir semua anggota keluarga memilikinya secara terpisah.

Budaya Sensor Mandiri
Dulu menonton TV rame-rame

Budaya Sensor Film
Jaman sekarang masing-masing punya TV sendiri

Di era digital ini penyebaran pemutaran film menjadi dipermudah. Kemajuan teknologi mampu menjadi sarana untuk mengakses film dengan cepat. Alhasil tontonan anak seringkali lepas dari pengawasan. Anak-anak memiliki peluang besar menonton film tanpa pendampingan. Bahkan mungkin mereka akan melihat film yang seharusnya tidak diperuntuk bagi seusianya.

Di Belanda ada organisasi yang menangani Pendampingan Menonton Film dan Televisi, namanya model Kijkwijzer (baca: "keik-weizer") dan NICAM (Nedherland Instituut Clasificatie van Audiovisuale Media).

Lembaga ini bersifat independen yang bekerjasama dengan lembaga pemerintahan Belanda. Kijkwijzer terbentuk setelah digantinya sensor film menjadi klasifikasi. Klasifikasi dibagi 5, yaitu untuk Semua Usia (SU), 6 th, 9 th, 12 th, dan 16 th. Perubahan dari sensor menjadi klasifikasi ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Maka dibentuklah cara sebagai pelengkap, panduan/ pedoman yang dapat melengkapi sistem klasifikasi, yaitu model "swaklasifikasi". Sebuah metode untuk memberikan Perlindungan Anak di Bawah Umur (Models for Protection of Minors).

Budaya Sensor Mandiri

Namun demikian, meski ada LSF dan lembaga model Kijkwijzer sekalipun tidak menjamin anak kita aman dari tontonan yang tidak sesuai.

LSF hanya sebatas sensor layak tayang atau tidak, setelahnya tetap menjadi tanggung jawab orang tua. Jam berapa anak diperbolehkan menonton dan hanya boleh menonton film seperti apa? Hal ini untuk menghindarkan anak pada tontonan yang tidak sesuai, seperti: adegan kekerasan ataupun pornografi yang dapat merusak perkembangan mentalnya.
 
Oleh karenanya bangun BUDAYA SENSOR MANDIRI atau Self Cencorshif.
Berikut cara melakukan Budaya Sensor Mandiri:
  1. Membatasi penggunaan gadget anak.
  2. Mengajak anak untuk melakukan kegiatan positif demi menjaga agar anak tidak menonton TV melampoi batas.
  3. Tidak memperbolehkan anak menonton yang tidak sesuai dengan usianya.
  4. Mengajak anak mengenal simbul yang menunjukkan, film yang akan ditontonnya benar-benar diperbolehkan untuk usianya atau tidak.
  5. Mendampingi anak menonton film dan mengajaknya berdiskusi. Ini demi menjaga agar anak tidak salah persepsi antara apa yang dilihat dengan maksud yang disampaikan oleh film.

Dengan menegakkan BUDAYA SENSOR MANDIRI maka menyelamatkan anak dari tayangan yang tidak sesuai. Tujuannya meminimalisir pengaruh perkembangan pola pikir maupun sikap negatif yang mungkin diadopsi dari karakter film yang ditontonnya. Semoga kita mampu membangun Budaya Sensor Mandiri demi mencegah produk anak nakal di era digital ini. Mencetak anak cerdas dalam pola pikir serta setiap pilihan tindakannya demi terciptanya generasi berkarakter dan berakhlak mulia. Bismillahirrahmanirrahim ....



33 comments:

  1. ooo baru ngerti aku tanda yg di tv. sebelumnya kan PG G R gitu2. makasih mak sugi pencerahannya.

    ReplyDelete
  2. Ya Allah.. aku harus menggencarkan sensor mandiri ini.. anakku ga bisa lepas dari youtube nih mbak..

    Btw ikut give awayku yuk mbak ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, harus sering didampingi anak-anak dengan apa yang dilakukannya.
      Oo ... lagi ngadain giveaway ta mbak, tentang apa?

      Delete
  3. Betul mbak. Sensor Mandiri lebih efektif yah...tfs...eia jika berkenan berkunjung baliklah ke sini : http://braveandbehave.blogspot.co.id/2016/08/tips-anak-susah-makan.html

    ReplyDelete
  4. Iyah mbak, kerasa banget efek media bagi anak. Musti belajar sensor mandiri lebih jauh lagi ni :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. betuul mbak ... orang tua sekarang mesti belajar jadi detektif yang handal bagi anaknya, hehe ...

      Delete
  5. Anak kami hanya nonton TV paling lama 1 jam perhari Bunda. Artikel yang bagus.

    ReplyDelete
  6. wah bagus juga nih mba, bekal buat anakku nanti, sekarang masih 9 bulan, hehehe

    ReplyDelete
  7. Oh iya Buk, itu gadis kecil tetangga ibu ya? Kalo iya, berarti ibu tahu dong gimana kesehariannya? Maksud saya begini, ada kmungkinan juga sikap otoriter/superior anak karena meniru perilaku sang ayah terhadap ibunya dan sang anak,perilaku sang ibu terhdap dirinya, atau perilaku sang kakak terhadap dirinya.

    Overall, sensor mandiri itu memang penting. Orangtua harus menunjukkan kpd anak mana adegan yg baik untuk ditonton dan mna yg tidak. Jadi jatuhnya, nonton sambil belajar.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas betul ... perilaku gadis tersebut bisa saja meniru model, seperti bapak, ibu, dll yang sering berhubungan dengan seorang anak. Karena pembentukan karakter berasal dari banyak aspek, termasuk lingkungan. Nah yang kita khawatirkan di sini jika ayah ibunya baik, tapi ternyata ia melakukan hal yang nggak baik hanya karena terinspirasi film yang ditonton anak khan sayang ....

      Betul mas. Nonton sambil belajar.

      Delete
  8. memang seharusnya seperti inilah tiap keluarga. sebab TV ini industri. tak peduli apa yg dihasilkan yang penting laku. duh.

    sensor mandiri HARUS digalakkan.

    oya bunda, mungkin maksud bunda 180° ya bukan 360°? kl 360 berarti kembali lagi alias seperti semula.

    ReplyDelete
  9. wkwkwk .... 360 derajat, biasa mbak hiperbola hehe

    ReplyDelete
  10. bener sekali bun, untuk jaman sekarang banyak sekali tontonan televisi yang kurang baik bagi anak-anak terutama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. berarti Budaya Sensor Mandiri memang wajib ya mas kalo gitu hukumnya

      Delete
  11. Bener banget mba. Sensor diri juga harus dilakukan oleh keluarga sejak dini kepada anak-anak. Apalagi kini terpaan media sangat kuat dan kuatir tak bisa menyaingi

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul. Tegakkan Budaya Sensor Mandiri
      terimakasih sudah berkunjung

      Delete
  12. Yups benar sekali televisi di era sekarang banyak yang menyiarkan tontonan yang kurang positif buat anak, jadi langkah budaya sensor mandiri patut di lakukan

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya memamng, orang tua harus jeli. Dan selalu evaluasi terhadap tontonan anak-anak

      Delete
  13. wah baru benar2 paham dengan kinerja LSF berkat artikel ini.
    namun bagaimanapun juga budaya Sensor Mandiri ini harus diterapkan di kehidupuan sehari-hari. Baik ke keluarga maupun ke keponakan yang mash dibawah umur.

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar, meski sudah ada LSF yang menangani terhadap tayangan film yang layak tayang atau tidak. Budaya Sensor Mandiri tetap harus dilakukan

      Delete
  14. Kehadiran LSF setidaknya memberikan energi positif bagi dunia perfilman Indonesia. Bravo Lembaga Sensor Film !

    ReplyDelete
  15. Terimakasih kepada semua pengunjung yang berkenan membaca artikel ini, semoga bermanfaat.

    Salam

    ReplyDelete
  16. Sampai saat ini, aku belum punya TV mbak. Kalo anak-anak mau liat film, biasanya aku downlod.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ooo ... gitu ya mbak. Enak, jadinya nonton bisa diatur sesuai jadwal ya mbak ...

      Delete
    2. saya di rumah tv juga jarang pakai kok mbak

      Delete
  17. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.