Thursday, 10 October 2013
Sabar Mendampingi Orang Sakit
Rasa Sayang Membuatku Sabar Mendampinginya
Mendampingi orang sakit memang membutuhkan kesabaran ekstra. Apalagi yang sakit adalah orang yang telah lanjut usia. Selain secara fisik sudah mulai lemah, psikisnyapun menjadi sangat sensitif. Mudah tersinggung, menjadi perasa, bahkan sikapnyapun sering menimbulkan kekesalan dihati kita.
Pendeknya orang yang lanjut usia tingkah lakunya seakan mendekati seperti anak kecil. Minta dimasakkan menu tertentu, tapi setelah dimasakkan mereka bilang yang nggak enaklah, kurang bumbu, kebanyakan garam, kok begini, kok begitu, kok nggak seperti kemarin dan sebagainya. Belum lagi karena sifat lupanya orang lain akan menjadi sasaran kekesalannya. Seperti yang pernah terjadi ketika secara tiba-tiba beliau bilang sambil mengomel katanya, “kok aku sejak pagi dibiarin, nggak diberi makan. Nggak diberi minum”. Sungguh sebuah kalimat yang tidak mengenakkan kedengarannya. Padahal kenyataanya beberapa saat yang lalu sudah makan. Tapi aku memakluminya orang usia segitu seringkali mengalami lupa atau pikun.
Emak, begitu aku memanggil nenekku. Beliau menderita darah tinggi. Badannya tidak terlalu besar, juga tidak kurus. Beliau masih bisa berjalan-jalan. Hanya saja ada yang menghambatnya yaitu penglihatannya. Emak menderita katarak. Pandangannya kabur dan jarak pandangnya sangat terbatas. Ini yang membuatku selalu mengkhawatirkannya, sehingga banyak hal-hal yang membuatku harus membantunya. Misalnya harus mengambil makan, minum, maupun mandi yang biasanya aku siapkan air hangat untuknya. Juga bila beliau hendak keluar rumah, entah untuk membeli sesuatu yang diinginkannya atau sekedar ingin jalan-jalan. Aku takut kalau-kalau di jalan terjatuh. Sebetulnya kami meminta dokter agar matanya dioperasi saja. Akan tetapi melihat kondisi emak yang kurang sehat, serta usianya yang sudah lanjut, dokter tidak berani, jadi harus menunggu sampai fisik beliau benar-benar sehat.
Emak banyak mengeluh tentang penyakitnya. Kaki linu-linu, tangan terasa dingin, dada berdebar, punggung sakit, pinggang pegal, telapak kaki kesemutan, dan masih banyak lagi. Biasanya emak minta pijit pada bagian-bagian tertentu. Itu selalu disampaikannya kepada siapa saja yang berada di dekatnya. Sungguh sangat melelahkan jika menuruti semua kemauannya. Begitu selesai satu hal, beliau akan menyambungnya dengan permintaan yang lainnya.
Alhasil kita semua dibuat sangat sibuk olehnya. Emak tidak pernah merasa puas atas yang dilakukan siapapun terhadapnya. Selalu ada saja yang kurang berkenan dihatinya. Kadang kamipun dibuat repot olehnya. Terlebih Ibu serta adikku, ia tipe orang yang mudah tersinggung, jika sudah melakukan sesuatu untuknya dan beliau tidak cocok akan membuatnya sakit hati. Semula akupun demikian. Rasa kecewa, jengkel, sakit hati serta kelelahan secara pisik membuatku menjadi enggan di dekatnya. Akan tetapi kembali aku renungkan lagi, jika bukan aku yang mengalah dan memahaminya siapa lagi? Sejak saat itu aku mencoba untuk bersabar. Kuncinya adalah segala hal yang tidak mengenakkan hati dari emak tidak pernah aku pikirkan. Aku berusaha merubah cara pandangku terhadapnya, termasuk sikapku. Dari rasa kecewa, tidak sabar, kesal, hingga sakit hati, menjadi sebuah penerimaan dan niat tulus untuk memberikan yang terbaik untuknya.
Dari sikap itulah akhirnya aku menemukan sesuatu yang tidak aku sadari sebelumnya. Ya, jika melihat apa yang dirasakannya memang sangat memprihatinkan. Coba bayangkan seorang yang sudah sedemikian tua dengan kelemahan secara fisik dan keterbatasan psikis harus mengalami sakit yang sedemikian rupa. Secara pribadi itu saja sudah membuatnya stress. Belum lagi rasa kesepiannya, karena disaat beliau tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa tidak ada seorangpun berada di dekatnya, kecuali ketika mengantar makanan atau minuman atau keperluan yang lain. Dan setelah itu kembali kesepian menderanya. Tidak seorangpun yang berada di dekatnya yang bisa diajaknya ngobrol, bersenda gurau ataupun kegiatan yang lainnya. Semua yang ada di rumah seakan tidak memedulikannya. Karena semua juga memiliki kegiatan dan melakukan kepentingan masing-masing.
Sulit bagi kami untuk selalu berada di dekatnya. Bapak harus berangkat kerja, dari pagi pulang sudah menjelang maghrib. Sedangkan adikku juga harus sekolah. Ibu meski di rumah, banyak sekali yang harus dikerjakan di rumah. Sementara aku sendiri juga bekerja. Mungkin alasan itu pula beliau sering meminta ini, itu dengan maksud agar kami selalu di dekatnya.
Pernah tanpa sepengetahuannya aku mengamati apa yang dilakukannya. Disaat hendak mengambil piring di meja, beliau harus meraba-raba guna memastikan bahwa piring benar-benar berada di dekatnya. Begitu pula ketika akan menyuapkan makanan. Tangannya juga meraba-raba untuk memastikan lauk apa yang akan dimakannya, bertulang apa tidak berduri apa tidak. Keterbatasan itulah yang membuat sebagian nasi yang berada di tangannya jatuh berserakan di lantai. Tak tahan akupun menangis melihatnya. Kasihan sekali emak. Beliau ternyata sudah sangat tua, wajahnya sudah tampak keriput, badanyapun kelihatan ringkih. Tapi dengan segala keterbatasannya ia masih berusaha melakukan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Karena tidak tega melihatnya makan dengan kondisi seperti itu akupun menawarkan untuk menyuapinya. Tapi diluar dugaanku beliau menolak, “Kayak anak kecil aja disuapi”. Begitu alasan beliau. Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah, berikanlah hamba kesabaran dalam melayaninya. Berilah beliau kesembuhan. Tumbuhkan rasa cinta dan sayang diantara kami, agar kami tulus melakukan sesuatu untuknya”.
Sejak saat itu aku lebih banyak meluangkan waktu untuknya. Terutama ketika pulang kerja. Sebelum tidur tak lupa aku mengajaknya bercerita tentang segala hal. Tentang perasaan beliau, masa kecilnya, masa remajanya, kepandaiannya memasak, hingga makanan kesukaannya. Subhanallah, beliau sangat semangat bercerita tentang masa mudanya. Sampai-sampai tak terlihat kalau beliau sedang sakit.
oOo
Pagi ini aku bersiap-siap berangkat kerja. Seperti biasa sebelum berangkat aku mempersiapkan dulu segala sesuatu yang menjadi keperluan emak. Satu ember air hangat aku letakkan di kamar mandi. Karena emak sering kedinginan bila mandi dengan air dingin. Kemudian aku mempersiapkan sarapannya yang harus aku letakkan di atas meja dekat tempat tidurnya. Tak lupa segelas teh hangat kesukaannya, serta sebotol air minum.
“Mak ini sarapannya. Air mandinya sudah siap” kulihat emak masih tertidur dengan posisi membelakangi tempatku berdiri.
Karena tidak ada sahutan, aku bermaksud membangunkannya.
“Mak sudah siang, aku mau berangkat” ucapku berbisik sambil ku goyang lengannya pelan.
“Iya biar di situ” jawabnya terdengar malas seakan ingin melanjutkan tidurnya.
Akhirnya kutinggalkan emak yang masih tidur. Aku menuju ke kamarku guna bersiap-siap berangkat. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 8, sudah saatnya berangkat sebab kalau tidak akan terlambat. Aku ambil tas kerjaku dan sekali lagi aku ke kamar emak untuk pamitan. Aku baru ingat, pagi ini tidak ada seorangpun di rumah. Adikku pagi-pagi sudah berangkat ke sekolah. Ibu dan bapak sedang ke Tulungagung karena ada saudara yang punya hajat. Rencananya pagi ini akan pulang. Itu berarti tidak lama setelah aku berangkat ibu dan bapak sudah datang. Jadi emak tidak lama sendiri di rumah.
Tapi perasaanku menjadi tidak enak meninggalkannya sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk meminta ijin ke kantor untuk datang terlambat, sambil menunggu sampai ibu dan bapak datang. Benar, tidak lama kemudian ibu dan bapak datang. Aku sedikit lega karena tidak terlalu lama minta ijin. Setelah berpamitan dengan bapak dan ibu aku berangkat kerja.
oOo
Handphoneku berbunyi ketika aku masih dalam angkot menuju tempat kerja. Kulihat nomor yang tertulis dalam monitor HP adalah nomor rumah. Ada apakah bisikku dalam hati.
“Tik, Emak kok tidur terus. Tak suruh sarapan nggak mau. Aku tawari mandi juga nggak mau. Katanya nanti. Badannya nggak panas sih, Cuma hangat. Kamu sampai mana?” suara ibu terdengar cemas.
“Masih di angkot Bu, kenapa?” jawabku penuh tanda tanya.
“Enggak. Enggak pa pa. Ya udah, hati-hati ya. Assalamualaikum” terdengar telepon ditutup.
oOo
Hari ini aku menjadi tidak konsentrasi di kantor. Berbagai pertanyaan yang menjejali otakku datang silih berganti. Kenapa dengan emak. Apakah beliau sakit. Tapi tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Tapi mengapa kok tidur terus. Nggak seperti biasanya, pagi-pagi sudah langsung mandi setelah beliau tahu aku mempersiapkan air hangat untuknya. Dan juga langsung sarapan setelahnya. Apakah emak akan…. Ah tidak semoga tidak terjadi apa-apa dengan emak. Aku berusaha menepis pikiran yang tidak aku kehendaki.
Ini pula yang membuatku ingin cepat-cepat sampai di rumah. Begitu sampai di rumah aku langsung menuju ke kamar emak, karena ingin mengetahui keadaannya. Benar emak kulihat tampak masih tiduran, seakan masih tetap seperti tadi pagi ketika ku tinggalkan.
Kulihat wajahnya juga tidak seperti orang sedang sakit, hanya bedanya wajahnya sedikit pucat dan terkesan malas-malasan. Kutanyakan pada ibuku, ternyata emak tidak mau makan. Sarapan serta makan siangpun hanya sedikit. Hanya minum yang seringkali beliau minta. Juga sejak pagi emak tidak turun dari atas tempat tidurnya. Sungguh sesuatu diluar kebiasaannya. Dan itu yang membuatku cemas. Biasanya beliau paling senang membeli bubur sumsum di sebelah rumah. Dan beliau selalu berangkat sendiri untuk membelinya. Sekalian jalan-jalan begitu jawaban beliau ketika aku menawarkan diri untuk membelikannya.
“Emak sakit?” aku mencoba bertanya seraya memegang keningnya.
“Enggak” jawabnya singkat.
“Tapi Emak kok tiduran terus? Kenapa?” tanyaku masih diliputi penasaran. Tapi beliau tidak menjawab. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sesuatu yang keluar dari mulutnya. Seperti ada dorongan dari dalam. Ya, emak muntah. Hanya berupa air. Mungkin ini karena seharian beliau tidak makan. Setelah kubersihkan tempat tidurnya, aku mencoba menawarinya makan dengan cara aku suapi.
“Makan ya Mak! Biar cepat sembuh” pintaku tanpa menunggu persetujuan kusuapkan sesendok nasi. Kuperhatikan sepertinya beliau tidak ada selera makan. Tapi aku tetap mencoba menyuapkannya kendatipun beliau seakan hendak menolak. Ketika tiba pada suapan yang ke lima ternyata emak muntah lagi. Aduh, kecewanya hatiku. Aku merasa usahaku sia-sia. Tapi aku terus berpikir keras bahwa perut beliau harus terisi sebab kalau tidak emak akan benar-benar sakit yang lebih parah.
Kucoba lagi untuk menyuapinya kembali dan setelahnya kubuatkan teh hangat. Lagi-lagi aku dibuatnya putus asa ternyata perut emak benar-benar menolak nasi. Makanan yang telah masuk keluar lagi semuanya.
Akhirnya aku berinisiatif membuatkannya bubur. Tujuanku biar emak tidak perlu mengunyah, dan aku berharap ia akan dapat menghabiskan bubur dalam jumlah banyak. Dugaanku benar. Emak dapat menghabiskan hampir sepiring yang kusiapkan. Lega rasanya. Dalam hati aku berpikir emak akan sehat seperti sedia kala.
Setelah kusuapi emak kutinggal ke kamar, karena aku sendiri sejak pulang kerja belum ganti pakaian serta mandi. Sesampainya di kamar langsung kuambil handuk hendak mandi. Tiba-tiba terdengar suara ibu memanggilku.
“Tik, emak muntah lagi” suara ibuku membuatku kaget. Bukan suara ibuku akan tetapi penjelasan mengenai apa yang terjadi pada emak yang membuatku tersentak. Terbayang betapa melelahkannya membersihkan tempat tidurnya. Dan yang lebih membuatku sedih lagi adalah kondisi perut emak yang kosong. Itu artinya seharian tidak ada satupun makanan yang dapat diserap oleh tubuhnya.
Setelah membersihkannya aku kembali berpikir apalagi yang akan kuberikan untuknya agar perutnya terisi makanan kembali.
“Mak ku antar ke dokter ya?” pintaku mencemaskannya. Tapi sayang, emak menolaknya, beliau malah bilang bahwa dirinya tidak sakit, tapi hanya mual.
Akhirnya kuputuskan untuk membuatkannya susu. Alhamdulillah, emak mau meminumnya, lega rasanya. Segelas susu hangat menurutku cukup untuk membuatnya lebih nyaman tidur malam ini.
Tapi selang beberapa saat, lagi-lagi aku dibuatnya kecewa, karena apa yang aku berikan harus keluar lagi. Aku beranggapan perut emak tidak mau menerima apapun. Ini adalah jalan terakhir setelah berbagai usaha aku lakukan. Tanpa menunggu persetujuannya kamipun membawanya ke rumah sakit.
Setelah melalui pemeriksaan, dokter memutuskan emak harus rawat inap, berdasarkan diagnosa emak mengalami infeksi lambung serta infeksi saluran kencing. Dari penjelasan dokter itulah akhirnya aku bisa paham mengapa emak tiduran terus. Karena orang yang mengalami infeksi saluran kencing biasanya mengalami nyeri pada perut bagian bawah serta terasa sakit bila dipakai duduk. Aku menyayangkan mengapa emak harus mengalami infeksi saluran kencing. Kalau saja emak mau menuruti anjuranku agar minum air putih yang banyak mungkin beliau tidak mengalaminya. Ya, emak memang jarang minum, beliau mau minum jika aku buatkan teh hangat. Mudah-mudahan emak akan segera sembuh.
Ada perasaan lega meski malam ini aku harus tidur di rumah sakit. Setidaknya emak telah ditangani oleh dokter. Rencananya besok pagi ketika aku kerja ibu yang akan menggantikannya berjaga sampai aku pulang kerja. Dan begitu seterusnya. Kami bergantian berjaga.
Menunggu orang sakit memang sangat melelahkan. Jenuh, capek, ngantuk karena kurang tidur menjadi bagian yang harus dinikmati setiap hari. Belum lagi bau obat-obatan yang sering membuat kepala pusing dan perut mual. Tapi demi emak aku bisa berdamai dengan situasi dalam beberapa hari. Ku bawakan radio kecil untuknya. Kucarikan stasiun pemancar yang membawa acara gending-gending Jawa kesukaannya. Di sampingnya aku duduk sambil membaca buku yang beberapa hari sebelumnya aku beli. Sambil membaca terdengar alunan lembut gending jawa yang iramanya mendayu. Akupun menjadi sangat menikmatinya. Bahkan ketika malam bisa membuatku tertidur pulas.
Itulah sesuatu hal yang dapat mengusir rasa yang tidak mengenakkan selama menunggu emak di rumah sakit. Ternyata ketika kita melakukan sesuatu hal dengan tujuan menyenangkan hati orang lain, tanpa kita sadari kitapun akhirnya dapat menikmatinya. Dan tanpa kita sadari hal itu akan dapat menyenangkan diri kita juga.
Alhamdulillah, tidak sampai seminggu emak sudah dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang. Tak henti-hentinya aku bersyukur pada Sang Maha pencipta. Emak diberikan kesembuhan. Di rumah emak kembali bisa beraktifitas seperti biasa. Meski tidak lebih dari biasanya tetapi melihatnya bisa berjalan-jalan serta makan sendiri bagiku sudah cukup membuatku bahagia. Dan pengalaman di rumah sakit, menjadi sesuatu hal yang sangat berharga buatku karena aku menjadi lebih dekat dengan emak. Ya, nenek yang seakan menjadi orangtua ke duaku. Juga yang memperkenalkanku akan gending-gending Jawa yang hampir kehilangan penggemar. Khususnya generasi muda sekarang yang mungkin banyak yang tidak mengenalnya. Seiring dengan itu pula aku mampu menciptakan rasa sayang yang begitu dalam terhadap emak. Dan itu ternyata menjadi sebuah modal besar untukku sehingga bisa lebih sabar berada di sampingnya, mendampinginya. Sampai akhir hayatnya. Terimakasih mak! Bersamamu aku belajar arti sebuah kesabaran dan rasa sayang yang tulus.
Semoga bermanfaat!
Category:
Psychology
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.