Mungkin Aku Sedang Diujinya
Namaku Rani (bukan nama sebenarnya). Usiaku telah 42 tahun. Anak pertama dari empat bersaudara. Memiliki seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Kini aku tinggal seorang diri pada sebuah kamar kontrakan di dekat pabrik tempatku bekerja. Aku telah 6 bulan bercerai dari suamiku.
Perceraian membuatku bahagia sekaligus meredam air mata yang keluar tiada hentinya. Dengan perceraian setidaknya dapat mengurangi penderitaanku. Namun dengan perceraian itu sendiri aku juga harus terbenam dalam duka yang tiada tara. Bagaimana tidak jika setelah bercerai, seorang diri mencari nafkah demi putriku dan kehidupanku aku harus menanggung hutang yang aku sendiri tidak tahu kapan akan habis terbayar. Bahkan sebagai buruh pabrik aku nyaris tidak pernah menerima gaji sepeserpun karena habis dipotong untuk mengangsur hutang. Namun bagaimanapun terpuruknya aku, harus tetap tegar, juga demi Yuni putriku.
Tidak pernah kubayangkan sebelumnya jika keputusanku menikah dengan Yudi justru akan menambah kesengsaraan. Hatiku tertekan, aku bagaikan seorang asing yang berada ditengah-tengah masyarakat. Kebahagiaanku dalam lingkungan sosial terampas. Aku nyaris berfungsi sebagai robot buat Yudi suamiku. Dia membutuhkan, tenagaku, pikiranku dan segala sesuatu guna memenuhi kebutuhannya akan tetapi dia juga memenjarakanku. Aku nyaris tidak boleh berinteraksi dengan siapapun kecuali dengannya. Sungguh sebuah siksaan ketika aku harus bertahan mendampinginya selama kurang lebih 5 tahun. Hanya itu waktu yang bisa aku pertahankan, yang setelahnya aku menyerah, dan akhirnya kuputuskan pergi meninggalkannya.
Inilah kisahku mengapa aku bisa menerima lelaki tersebut, dan mengapa aku akhirnya harus meninggalkannya….
Ketika itu usiaku telah menginjak kepala tiga, namun aku belum juga memiliki calon pendamping hidup. Sementara kedua orang tuaku usianya sudah semakin tua. Semua adikku telah menikah, kecuali aku. Kekawatirannya meninggalkanku tanpa sempat melihatku bersanding dalam pelaminan membuatnya selalu mendesakku untuk cepat menikah. Terus terang bukan aku tidak mau menikah, tetapi jika belum bertemu dengan jodoh mau bagaimana lagi.
Aku stress bukan kepalang waktu itu. Selalu didesak orangtua dan kesulitanku mendapatkan calon. Keduanya sering membuatku putus asa. Tapi bagaimanapun juga aku harus bersabar. Mungkin Allah sedang menguji kesabaranku. Waktu terus berjalan hingga aku bertemu dengan Yudi teman SMPku dulu, ketika itu usiaku sudah 37 tahun.
Dulu aku mengenal Yudi sebagai anak yang pendiam. Meski prestasi akademiknya tidak menonjol tetapi ia tidak pernah tinggal kelas. Yudi dikenal sebagai anak yang selalu berperilaku baik. Oleh karena itu ketika secara tidak sengaja bertemu dan ia mengutarakan ingin mengajakku menikah, tanpa berpikir panjang aku menerimanya. Sebetulnya keinginanku menikah dengannya ditentang oleh orang-orang di sekelilingku termasuk orangtua serta adik-adikku. Karena mereka pernah melihat Yudi mabuk-mabukkan di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah orangtuaku. Serta kebiasaan Yudi yang tidak jelas tujuannya. Luntang-lantung dan seringkali cangkrukan bersama teman-temannya. Ya, Yudi seorang pengangguran ketika itu.
Entah mengapa aku tidak mau mengikuti saran dari orangtuaku untuk menjauhinya. Semakin dilarang aku semakin merasa kasihan padanya. Mereka tidak mengetahui mengapa Yudi bisa seperti itu. Menurut ceritanya ia pernah menikah, belum ada setahun menikah istrinya berbuat serong yang akhirnya ia harus menceraikan istrinya. Dari “kacamataku” karena itulah Yudi frustasi dan akhirnya melakukan hal-hal yang kurang baik sebagai pelampiasan atas kekecewaannya dalam berumah tangga. Aku kasihan melihatnya aku bermaksud menolongnya. Mungkin dengan menikah denganku akan bisa mengembalikan dirinya ke jalan yang benar. Dari rasa kasihan berubah menjadi cinta, cinta yang rela menerima apapun keadaannya.
Bismillah, dengan niat beribadah aku melanjutkan niatku untuk menikah dengannya. Dua bulan sebelum menikah kabar gembira datang dari adik laki-lakiku. Di tempat kerjanya ada lowongan, dan akhirnya Yudi diterima di perusahan tersebut.
Tahun 2003, aku menikah. Walaupun aku merayakannya secara sederhana tapi aku bahagia karena keluarga, adik, serta teman-temanku turut hadir memberikan doa restu.
Dan ternyata pada pernikahan tersebut aku mengalami cobaan yang bertubi-tubi…..
oOo
“Astagfirullah, Kok tega banget dia bicara seperti itu” aku mengeluh dalam hati. Namun segera aku buang jauh-jauh prasangka buruk tentangnya. Ya, aku khan istrinya memang selayaknya mempersiapkan segala sesuatu buatnya. Segala sesuatu yang sudah menjadi kewajibanku. Akupun beranjak dari tempat tidur dan menuju dapur. Meski dengan menahan rasa sakit akupun akhirnya bisa memasakkan sesuai seleranya. Iapun makan dengan lahapnya, dan setelahnya seperti kebiasaannya ia pergi entah kemana, mungkin main ke rumah temannya, begitu pikirku menghibur diri.
oOo
Tiga bulan setelah menikah aku dinyatakan hamil. aku merasa menjadi wanita sempurna, bahagia sekali, Yudipun demikian. Namun bersamaan dengan itu pula Allah sedang mengujiku. Di bulan yang sama Yudi dipecat dari tempat kerjanya, alasannya tidak lain karena Yudi yang tidak bisa menempatkan diri, ia bertengkar dengan atasanya. Duh, bagaikan teriris hatiku saat itu, disaat aku mengandung anak pertamaku dimana aku memerlukan biaya untuk periksa dan persiapan persalinan aku harus kehilangan sebagian masukan keuangan.
Kendatipun Yudi belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Semua itu tertutupi oleh rasa bahagiaku akan memiliki seorang momongan. Aku berlapang dada menerima himpitan ekonomi. Serta gunjingan-gunjingan miring tentang suami yang hanya keluyuran. Semua permasalahan yang menyesakkan dada bisa ku tepis. Akan tetapi………..
Menganggurnya Yudi semakin menambah bebanku. Yudi menjadi sangat manja ia selalu minta makan yang enak-enak, rokoknyapun ngebut bagaikan rangkaian gerbang kereta, habis nyambung lagi, begitu seterusnya. Lebih parah lagi Yudi menjadi sering marah tanpa sebab yang jelas. Bahkan ia menuduhku berselingkuh dengan teman kerjaku. Astagfirullah. Suatu tuduhan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa disebut selingkuh jika aku hanya menyapa teman yang kebetulan berpapasan denganku atau kebetulan lewat depan rumahku. Yudi memang keterlaluan. Ia tidak punya perasaan.
Pernah suatu ketika aku pergi ke pasar yang letaknya tidak jauh dari tempatku. Di pasar aku bertemu dengan Maryati teman kerjaku dulu. Yang berhenti bekerja, karena suaminya tidak mengijinkannya lagi bekerja. Kami dulu sangat akrab, sehingga pertemuan itu kami seolah melepas rindu. Sambil belanja kami bercerita tentang banyak hal.
Waktu ke pasar menjadi lebih lama. Aku tidak menyangka di rumah ternyata, Yudi telah menungguku dengan wajah marah yang luar biasa. Tanpa aku bisa menghindarinya pukulan bertubi-tubi mengenai wajah, kepala, punggung dan tendangan di kakiku. Aku hanya bisa menangis. Disela-sela tangisku aku menjelaskan apa yang terjadi, mengapa aku terlambat pulang. Rupanya Yudi tidak memperdulikan alasanku. Ia terus saja mengayunkan pukulannya.
Akhirnya aku merasa tidak kuat lagi merasakan sakit di sekujur tubuhku. Aku membentak, “Cukup. Sampai disini aku merasakan siksaan ini, jika bukan kamu biar aku saja yang menjauh. Kita sepertinya tidak bisa melanjutkan semua ini” aku berdiri menguatkan hatiku yang hancur. Aku tidak tahu lagi apakah kata-kataku tepat atau aku yang salah. Yang jelas naluriku berkata, aku ingin lepas dari penderitaan ini.
Diluar dugaanku, Yudi bersimpuh, memohon maaf padaku. Ia mengaku khilaf, ia mengungkapkan tidak ingin kehilangan aku. Hatiku luluh oleh sikapnya, aku memaafkannya. Pukulan serta tendangannya seketika tidak aku rasakan lagi, semua tertutup oleh penerimaanku akan kekurangannya. Dalam hati aku berdoa, “Ya Tuhan semoga nanti akan menjadi lebih baik”.
oOo
Kehamilanku sudah memasuki bulan ke delapan. Itu artinya satu bulan lagi aku harus mempersiapkan persalinan termasuk biayanya. Yang membebani pikiranku, Yudi juga tak kunjung mendapat pekerjaan. Itu artinya sudah sepuluh bulan Yudi menganggur. Setiap aku sarankan untuk bekerja apa saja asalkan halal dan mendapatkan penghasilkan, Yudi selalu memberi alasan bahwa kerja itu perlu modal. Dan modal yang ia maksud adalah sepeda motor.
Setelah berpikir panjang akhirnya aku mengabulkan permintaannya. Untuk kedua kalinya aku membelikan sepeda motor dengan uang pinjaman. Kali ini sepeda motor bekas. Sebelumnya aku juga pernah membelikan sepeda motor dengan sistem kredit, ketika aku sudah membayar uang muka dan mengangsur beberapa bulan Yudi menggadaikan sepeda motor. Oleh karena tidak sanggup lagi melanjutkan kredit akhirnya sepeda aku serahkan lagi ke dealer yang sebelumnya harus aku tebus dulu dipegadaian. Sementara uang pinjaman untuk uang muka belum lunas aku sudah menambah lagi pinjaman guna menebus sepeda tersebut. Sudah dipastikan hutangku semakin menumpuk. Tapi aku tetap berbesar hati dengan adanya sepeda motor nanti aku berharap masukan akan bertambah karena Yudi akan mendapat pekerjaan.
Dasarnya Yudi memang pemalas, janji tinggal janji. Ketika sepeda motor sudah didapat iapun tidak langsung kerja. Alasannya tidak ada yang cocok. Menurutku bukan karena tidak cocok tapi karena Yudi saja yang kurang bisa menempatkan diri. Dia inginnya kerja yang enak, duduk dibelakang meja, tanpa bersusah payah dapat duit banyak. Itulah kenyataan yang harus aku hadapi ketika memutuskan menikah dengannya tidak terpikirkan olehku hal itu akan terjadi.
Hari berganti hari, bulan terus berjalan, kehidupan rumah tangga kami sangat memprihatinkan. Terus terang kondisi ekonomi rumah tanggaku sangat sulit, pengeluaran selalu lebih besar dari pemasukan. Keuangan selalu minus. Semua karena dipicu harus mengangsur hutang yang semakin hari semakin bertambah. Kami sering bertengkar. Namun apapun alasannya aku sering kali mengalah demi keutuhan rumah tangga kami.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aku tidak lagi mengandalkan gaji yang tidak seberapa setelah dipotong hutang. Aku mencari sambilan lain, yaitu berdagang gorengan dan nasi bungkus yang aku bawa ke pabrik. Semua dagangan aku persiapkan pagi-pagi buta. Biasanya aku bangun jam 3 pagi. Alhamdulillah, daganganku selalu habis dibeli teman-temanku. Rasa capek dan ngantuk tidak lagi aku perdulikan kendatipun aku sedang hamil tua. Aku bahagia dapat menambah masukan. Kendatipun Yudi tidak pernah perduli tentang apa yang aku lakukan tetapi aku tetap menghargainya sebagai suami yang baik. Aku tidak mempermasalahkan statusnya yang masih pengangguran. Pendeknya aku menghormatinya selayaknya seorang suami yang baik pada umumnya.
Ternyata masalah tidak berhenti sampai di sini. Yudi memang keterlaluan, sedikit-demi sedikit aku mulai mengenal siapa Yudi sebenarnya. Ia tak lebihnya seorang yang tidak mempunyai perasaan. Perlahan dalam hatiku timbul rasa kecewa dan ingin menyudahi pernikahan.
Seperti siang itu, kembali Yudi menunjukkan kekejamannya. Aku sudah mengambil cuti melahirkan, dan ketika tiba-tiba aku merasakan sakit perut yang tidak seperti biasanya, aku mengajak Yudi bermain ke rumah adikku. Selain bermaksud silaturahmi aku berkeinginan meminjam uang guna persiapan persalinan.
Diluar dugaannku, bukan jawaban yang melegakan tetapi justru terjadi pertengkaran yang berujung penyiksaan. Di sela kemarahannya kembali Yudi melayangkan tangan kuatnya ke pipi, kepala, punggung, serta pinggangku. Tubuhku menjadi bulan-bulanan nafsu setannya. Wajahku lebam, lututkupun memar membiru, sakit dan perih sekali rasanya, tapi yang lebih sakit lagi hatiku. Tidak bisa dinalar dengan akal. Alasannya hanya sepele, Yudi tidak ingin aku dekat dengan keluargaku. Bahkan semenjak menikah dengannya aku tidak pernah diijinkan menjenguk orangtuaku. Demikian pula jika adikku datang ke tempatku, esok harinya ia akan mengajakku untuk pindah ke kontrakan baru. Tujuannya satu agar adikku tidak datang lagi. Pendeknya setelah menikah aku ibarat tawanan. Tidak boleh keluar rumah, tidak boleh berbicara dengan tetangga, teman serta seluruh keluargaku. Ini adalah tekanan berat buatku. Mereka adalah orang-orang yang aku cintai. Tapi demi dia aku harus rela kehilangan semuanya. Termasuk orangtua. Sering aku berpikir untuk melepaskan diri darinya, namun kembali aku tidak tega melihatnya. Dengan sekuat kemampuannku aku berusaha menyadarkannya dengan harapan akan membuatnya menjadi lebih baik.
Tapi kini beda, hatiku terlanjur sakit. Bersamaan dengan sakit perutku yang makin tak tertahankan. Perkiraanku aku akan melahirkan karena menurut dokter kelahiran bayiku tinggal menunggu hari. Aku merasa tidak kuat lagi untuk menahan rasa sakit aku bulatkan tekat untuk pergi dari rumah. Selain ingin menghilangkan beban penderitaan, aku juga ingin ada yang menolongku jika benar akan melahirkan. Kulihat Yudi keluar dengan mengendarai sepeda motor. Aku bergegas mengambil beberapa potong pakaian, serta surat-surat periksa dokter. Tidak terpikirkan membawa barang apapun, kecuali keinginan meninggalkan rumah sebelum Yudi datang. Tujuanku hanya satu, ke rumah adikku yang sering menjengukku. Di sana yang menurutku paling cocok, selain suaminya juga baik ia sudah memiliki rumah sendiri.
Dengan menahan rasa sakit aku pergi dengan naik angkot. Setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam akhirnya aku sampai di tempat adikku.
oOo
“Nggak apa-apa kok Dik, aku tadi waktu mau naik angkot terjatuh” ungkapku berbohong. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita mengenai Yudi. Segala keburukan Yudi selalu aku tutupi. Termasuk statusnya yang pengangguran. Kepadanya aku berbohong kalau Yudi sudah dapat kerja sebagai pengiriman barang. Tujuanku agar seluruh keluargaku tidak bersedih memikirkanku, termasuk orangtuaku.
“Trus Mbak Rani kok sendiri? Mana Mas Yudi?” Tanya adikku lagi.
“Iya, lagi ngirim barang ke luar kota. Jadi gak bisa ikut ngantar” jawabku kembali berbohong. Adikku hanya manggut-manggut seraya mengantarkanku ke kamar. Di kamar kamipun bercengkrama tentang rencana menentukan tempat bersalin.
Aku merasa tenang tinggal ditempatnya, apalagi setelah aku kemukakan niatku untuk menumpang sementara waktu sampai melahirkan serta keinginanku meminjam uang, ia tidak keberatan membantu. Adikku mengetahui jika aku sudah kontraksi, dengan segera ia mengajakku ke dokter kandungan yang tempatnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tapi sayang, dokter bilang masih lama, dan menyuruhku pulang. Padahal sakit perutku sudah tidak tertahankan lagi, sebentar muncul sebentar hilang. Dokter bilang aku stress, itu mempengaruhi kandungan. Setelah meminum obat yang diberikan dokter beberapa jam kemudian sakit perutku mulai berkurang. Ya mungkin benar kata dokter, bahwa aku terlalu banyak pikiran harus banyak istirahat dan menenangkan pikiran.
Ini hari ke lima semenjak aku meninggalkan rumah.
Tidak ada tanda-tanda Yudi datang. Meski hatiku masih merasa sakit atas perlakuannya, aku tidak bisa begitu saja untuk tidak memikirkannya. Terus terang aku mencintainya, cintaku tulus, dengan segenap perasaan menerima segala kekurangannya, dan segenggam kata maaf yang selalu aku berikan kepadanya. Di saat jauh darinya aku sering berpikir bagaimana dengan kebutuhan, merokoknya, membeli bensin untuk sepeda motornya, sementara ia tidak memegang uang sepeserpun. Aku khawatir Yudi akan melakukan perbuatan nekat yang membahayakan dirinya. Aku berharap Yudi datang mencariku, dan menunggu proses persalinanku, karena saat-saat seperti ini aku sangat membutuhkan keberadaannya.
Di hari ke sepuluh. Ketika aku sedang santai di kamar, tiba-tiba ada suara orang mengetuk pintu, sepertinya ada tamu. Kulihat adikku tertidur dengan anaknya yang masih berumur 2 tahun. Setelah aku buka pintu, aku dikejutkan akan tamu yang datang yang tidak lain adalah Yudi suamiku, berdiri menenteng tas besar, aku ingat mungkin barang-barang persiapan persalinanku yang telah aku persiapkan sebelumnya. Aku bahagia melihat kedatangannya. Seolah tidak terjadi apa-apa, kamipun langsung bercengkrama saling menceritakan keadaan masing-masing. Dari keterangannya kabar buruk aku terima, yaitu ia menggadaikan sepeda motornya. Alasannya untuk biaya hidup, serta menjual sebagian barang-barang yang kami miliki. Aku lelah untuk berpikir yang berat, aku mengiklaskan apapun yang terjadi dengan memaklumi keadaannya. Melihat kedatangannya dan kata-kata maaf darinya saja cukup membuatku terhibur, apalagi terkabulnya keinginanku ia akan menungguku selama persalinan.
oOo
Tapi Alhamdulillah, adikku iklas memberikan semuanya. Dia begitu memperhatikan kebutuhanku. Dia tidak mengaharapkan imbalan. Itu sangat membahagiakanku. Dan dengan berat hati ia melepaskannku untuk kembali ke rumah kontrakkan.
oOo
Ketika itu aku sedang bercengkrama dengan putriku. Tiba-tiba ada tetangga yang mengantarkan makanan hasil kenduri. Pak Subur namanya. Orangnya sangat ramah dan penyayang anak kecil termasuk Yuni. Pak Subur rupanya gemas melihat Yuni yang sedang bermain denganku, dalam sekejap tubuh Yuni beralih dalam gendongannya.
Aku tidak menyangka ketika tiba-tiba Yudi datang dengan wajah marah merebut Yuni dari gendongan Pak Subur dengan kasarnya. Karena merasa tidak enak beliau akhirnya berpamitan pulang. Kemarahan Yudi berlanjut setelah kepulangan Pak Subur. Kembali Yudi menuduhku dengan alasan yang tidak masuk akal. Akhirnya adu mulutpun tidak dapat dihindarkan. Kembali seluruh bagian tubuhku menjadi bulan-bulanan tangan kasarnya. Bukan itu saja amarah juga merembet dengan membanting semua piring dan gelas yang aku punya. Hatiku sangat sakit melihat perlakukannya. Tiba-tiba timbul rasa benci pada Yudi. Aku semakin tertekan. Ingin rasanya aku menyudahi pernikahan ini. Bagiku dengan menerimanya dalam kondisi menganggur adalah suatu pengorbanan, akan tetapi kalau tubuhku juga yang harus menjadi korban aku tidak bisa lagi bertahan.
Yudi bagaikan orang kesetanan. Rambutku dijambaknya dan kepalaku dibenturkan pada lututnya. Sakit mengenai pipi, mata, hidung dan kepalaku. Yang lebih sakit lagi hatiku. Kali ini aku tidak lagi menaruh rasa kasihan. Aku berpikir mungkin suatu saat ia akan tega membunuhku. Anakku ikut menangis. Ia memegangi tangan ayahnya yang sibuk memukulku. Akan tetapi Yudi ternyata sudah kerasukan iblis. Serta merta tangannya yang lain meraih lengan anakku dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia terjerembab dipojok tempat tidurku yang kakinya sudah lapuk. Kepalanyapun membentur pinggiran tempat tidur. Aku menjerit ingin menolongnya, akan tetapi tangan kanannya begitu kuat memegangi rambutku, dan menyumbat mulutku dengan kain dan mengikat tanganku ke belakang. Sementara tangan kirinya sibuk mencari sesuatu di laci meja. Akhirnya aku melihat ia memegang gunting yang diarahkannya ke rambutku. Dalam isakan tangisku aku memohon kepadanya agar jangan melakukan itu. Yudi tidak menggubrisnya. Dalam sekejap rambutku telah habis diguntingnya. Aku pasrah, sebagai seorang perempuan dengan keterbatasan tenaga aku tidak bisa melawannya. Aku hanya menangis. Kulihat Yudi keluar sambil menggendong anakku Yuni dan mengunci pintu dari luar.
Aku mengintip melalui celah pintu, tidak kulihat sosok Yudi. Aku mencari-cari cara agar bisa keluar. Akhirnya aku bisa keluar dengan melalui jendela. Tujuanku pertama adalah ke rumah pak RT. Cukup sudah kesabaranku. Tekatku sudah bulat, aku ingin menjauh darinya. Aku melihatnya bukan lagi suamiku, tetapi seorang jahat yang telah menghancurkan aku. Oleh pak RT aku diantarkan ke kantor polisi guna melaporkan kejadian yang aku alami. Laporan itu yang akan aku gunakan untuk mengurus proses perceraian nanti. Setelah itu aku tidak lagi pulang ke rumah tetapi menginap di rumah adikku dengan diantarkan oleh pak RT. Selain tas kecil yang berisi surat-surat penting aku tidak membawa pakaian, hanya yang melekat dibadan. Bagiku bisa membebaskan diri dari rumah itu suatu kebahagiaan. Kini yang aku pikirkan langkah apa yang aku lakukan selanjutnya. Saran adikku adalah mengajukan gugatan cerai.
oOo
Mengajukan gugatan cerai ternyata tidaklah mudah, meskipun aku telah membawa bukti cukup tentang KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) masih harus melalui sidang berulang-ulang. Itupun harus membayar biaya yang tidak sedikit.
Setelah sidang berlangsung beberapa kali dan berjalan cukup rumit akhirnya palu hakim dijatuhkan tanda gugatanku dikabulkan. Selama itu pula Yudi tidak pernah datang memenuhi panggilan sidang. Hatiku lega rasanya. Namun yang masih mengganjal adalah tentang Hak Asuh Anak. Aku berpendapat Yuni harus aku bawa, mengingat Yudi tidak bekerja dan ia memiliki temperamen yang buruk. Aku tidak ingin anakku akan terpengaruh oleh sifat-sifat ayahnya.
Sayangnya untuk mengajukan pengurusan tentang hak asuh anakpun memerlukan biaya yang tidak sedikit serta prosesnyapun sangat rumit. Aku harus berpikir dua kali untuk melanjutkannya. Demi kebaikan Yuni akhirnya aku memutuskan untuk memintanya secara baik-baik.
oOo
Siang itu aku datang ke rumahnya, rumah mertuaku dengan ditemani adikku. Semenjak kepergianku Yudi telah membawa semua barang-barang kami ke rumah orangtuanya, bahkan sebagian telah dijualnya.
“Ben aku ae sing nggowoYuni (biar aku saja yang mengasuh)” ucapku menahan tangis.
“Gak isok, nggowo o duek (tidak bisa bawa uang) 3JT, nanti boleh bawa Yuni” Yudi menimpalinya dengan emosi. Sambil tak henti-hentinya menghisap rokok, Yudi memegang erat tangan Yuni yang duduk dipangkuannya. Seakan tidak menghiraukan isakan tangis kesedihan dari bocah kecil yang selama ini “disandranya”.
Ya, meski Yudi berstatus sebagai ayah darinya namun apa yang dilakukan Yudi terhadapnya tidak lebih dari seorang penyandra. Bagaimana tidak, Yuni yang ketika itu masih berusia 5 tahun kemana-mana selalu dibawa dengan tujuan yang tidak jelas. Bahkan sebagai anak kecil yang biasanya asyik bermain dengan teman sebayanya tidak diberikan kesempatan olehnya.
Lebih memprihatinkan lagi Yuni sering disuruh minta-minta ke warung sekedar untuk makan. Itu keterangan yang aku dapat dari teman-temannya. Tidak jarang ia disuruh menjajakan minuman kemasan di traffic light. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Seorang anak yang seharusnya ia sayangi dan lindungi sebagai orangtua, tetapi justru ia jadikan sebagai sandraan dengan harapan mendapatkan sejumlah uang.
Suatu hal yang sulit dinalar dengan akal sehat. Ternyata Yudi memang berhati jahat. Sakit sekali hatiku mendengarnya. Tidakkah ia merasa bahwa Yuni adalah anaknya? Darah dagingnya? Mengapa ia tega meminta tebusan? Ia seharusnya tahu perpisahannya denganku banyak menyisakan hutang yang harus aku lunasi.
Kini ditambah lagi ia memerasku dengan sejumlah uang. Aku sebetulnya ingin melaporkan ke kepolisian sesuai dengan saran adikku. Tetapi aku tidak ingin anakku nantinya akan menanggung beban mental yang berat karena ayahnya masuk penjara.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku mengabulkan permintaannya. Lagi-lagi aku mencari pinjaman. Sudah tak terhitung jumlah hutangku yang tercecer disana-sini. Aku tidak memperdulikannya. Pikiranku hanya pada Yuni. Tujuanku hanya satu, bagaimana caranya agar Yuni bisa terbebas dari Yudi dan mendapatkan kasih sayang serta perhatian yang layak.
Lega rasanya Yuni bisa kembali dalam pangkuanku. Langkah selanjutnya aku berpikir mencari tempat yang aman buat Yuni. Serta bagaimana memenuhi kebutuhannya, karena mengandalkan gajiku jelas tidak mungkin. Aku sendiri hampir tidak pernah menerima gaji setelah dipotong angsuran hutang. Disaat aku sedang bingung memikirkan Yuni ada orang yang menawarkan bantuan merawat Yuni yang tidak lain adalah Bu Siti orang yang dulu pernah mengasuh Yuni Bu Siti tidak memiliki anak. Kebetulan ia juga telah pindah ke rumah baru, yang tidak diketahui oleh Yudi. Meski berat melepaskan Yuni, akhirnya kuterima juga tawaran Bu Siti dan suaminya. Karena aku takut ketika uang pemberianku habis Yudi akan datang lagi dan mengambil anaknya kembali.
“Mama jangan tinggalin aku. Aku ingin ikut Mama” isakan tangis Yuni terpecah ketika aku berpamitan akan meninggalkannya.
“Tidak sayang, Mama hanya akan membelikan kue buat Yuni. Yuni tunggu di sini sebentar ya!” pintaku menahan tangis. Wajahnya sangat memelas, aku hampir tidak kuat membendung rasa kesedihan yang dalam.
Melepaskan Yuni diasuh orang lain menurutku sebuah pilihan terbaik. Setidaknya demi masa depannya. Karena Bu Siti tergolong orang yang cukup. Yuni bahkan dibelikan apapun yang sebelumnya aku tidak mampu membelikannya. Meski hatiku sering menangis meratapi nasibku karena sebagai orangtuanya yang melahirkannya aku seakan tidak memilikinya. Aku harus sembunyi-sembunyi jika ingin melihatnya dan memberikan sesuatu kepadanya. Demi menjaga perasaannya, aku berusaha untuk tidak bertemu dengannya. Yuni masih terlalu kecil untuk memahami keadaan. Biarlah aku sebagai orangtua yang mengandungnya tanpa harus menuntut apakah ia akan mengingatku nantinya yang terpenting ia mendapatkan pendidikan jauh lebih baik dari yang bisa aku berikan. Itu semua juga atas permintaan orang yang menjaga Yuni karena jika habis bertemu denganku Yuni selalu ingin bersamaku terus. Ia ingin ikut denganku, Pendeknya ia tidak mau lagi berpisah denganku.
“Tuhan berikanlah hamba kekuatan, lindungilah Yuni, mudah-mudahan segala yang aku lakukan akan membawa kebaikan buat masa depannya kelak. Yuni, biarlah tangisan ibu akan menjadi kebahagiaanmu nanti” itulah doaku.
*Kutulis seperti yang diceritakan dan kulihat dari saudaraku.
Semoga Allah melindungi Yuni dan memberikan kemudahan perjalanan hidup buat mbak Rani. Amin.
astaghfirullaah.. ikut pengen jambak rambut lelaki pemalas itu.. hih.. semoga saudaranya mendapat kebahagiaan dan kemudahan sesudah ini ya mak, aamiin
ReplyDeleteiya mak,... kalo melihat suami yg perilakunya seperti itu serasa nyesek di dada ya..
Deletebtw, makasih udah berkunjung ya mak
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteterimakasih pak infonya dan salam kenal
ReplyDeleteHufftt..aq ikut deg-deg an baca dari awal sampe akhir ceritax mbak T_T sedihnya..
ReplyDeleteBuat diriku yg msh berstatus single,ini bs di jadikan pelajaran hidup, unt berhati hati memilih pasangan. Karena salah memilih akan berakibat pada kesengsaraan di sisa hidup yang dijalani. Dan parahnya akan berakibat jg buat mental si buah hati hiks hiks
Na Udzubillah min dzalik
Iya mbak semoga kita bisa mengambil hikmahnya dari pengalaman orang lain
Delete