Tamu Spesial
“Hans” pekikku tertahan. Tidak percaya dengan apa yang kusaksikan di depan mata. Betapa tidak, aku melihat seorang pemuda dengan celana jean dipadu dengan t-sirt putih yang membalut badan kekar yang pernah kukagumi dulu. Bukan hanya dulu, tapi hingga kini. Pemilik tubuh atletis dengan senyum renyah yang selalu kuimpikan. Aku tersanjung. Kaget. Senang. Bercampur rasa tidak percaya bergumul menjadi satu.
Kalau saja aku tidak bisa menguasai diri mungkin aku
akan langsung memeluknya. Kangen. Alasan klasik pada seorang sahabat yang lama tidak pernah berjumpa. Ya, komitmen yang pernah kami buat adalah sahabat. Meski sebenarnya aku merasa kecewa dengan status tersebut. Namun tidak ada pilihan lain. Bagiku itu lebih baik daripada aku kehilangan kebersamaan dengannya.
Hans, adalah seorang pemuda yang aku kagumi. Semangat belajarnya luar biasa. Disiplin dan penuh tanggung jawab. Sementara aku, adalah seorang gadis yang periang dan sedikit manja. Klop. Kami bagaikan sepasang kakak beradik yang saling memperhatikan. Dan ku tahu mungkin hanya sebatas itulah perasaan Hans terhadapku.
Hampir 5 tahun aku menjadi sahabatnya. Setelah lulus semua seakan terlupakan begitu saja. Aku masih ingat, Hans pernah mengungkapkan prinispnya bahwa ia tidak akan pacaran sebelum selesai gelar dokternya. Bahkan setelah lulus fakultas kedokteranpun ia masih ingin melanjutkan ke jenjang profesi. Sementara aku, meski telah lama menyimpan perasaan kagum terhadapnya harus rela mengalah. “Demi cita-cita” hiburku pada diri sendiri.
Aneh. Mengapa tiba-tiba ia sekarang datang ke rumah? Aku memang belum memiliki kekasih, akan tetapi bukan berarti aku memiliki peluang untuk mengharapkan Hans lagi. Ah, aku terlalu GR mengartikan kahadirannya saat ini. Bagaimana jika ternyata ia datang justru membawa kabar yang lebih menyakitkan dari alasannya terdahulu? Siapa tahu ia ke rumah hanya ingin menyampaikan undangan pernikahannya? Bukankah ia pernah bilang, bahwa aku adalah sahabatnya. Ya. Hanya sebatas sahabat.
Orang lain mengira kami adalah sepasang kekasih. Mereka tidak tahu bahwa hubungan kami terasa dingin. Jauh dari kata cinta. Meski kadang aku melihat tatapan mata Hans yang begitu teduh menusuk. Namun kenyataannya apa yang disampaikan Hans tidaklah seperti yang aku harapkan. Kecewa? Ya.
“Hai” sapa Hans setelah melihatku berdiri di depan pintu. Senyumnya masih seindah dulu. Senyum lepas yang mengisyaratkan rasa rindu karena lama tidak bertemu.
“Apa kabar Hans” balasku yang masih diliputi tanda tanya. Meski hati bersorak girang, namun naluriku menahan dengan keragu-raguan.
“Seperti yang kamu lihat. Aku baik khan. Nich bajuku. Celanaku. Sepatuku. Tuh senyumku. Kamu masih secantik dulu” goda hans. Ah, Hans masih saja seperti dulu. Sering membuatku merasa keki.
Kamipun tertawa bersama. Rupanya Hans tidak berubah. Sikap terbukanya dan bicara apa adanya masih melekat padanya. Hans yang aku kenal beberapa tahun lalu. Ketika kami sama-sama masuk kuliah kedokteran. Namun setelah itu kami berpisah. Hans mengambil program profesi di kota lain. Sementara aku, cukup menjadi pegawai Puskesmas.
“Temani aku sarapan yuk!” pertanyaan Hans keluar seakan tanpa beban.
“Ok. Aku ganti dulu ya!” jawabku tidak ingin mengecewakannya.
Pagi ini, aku menemani Hans sarapan bubur ayam kesukaannya. Aku senang mengamatinya. Betapa lahap ia menyantap menu sarapan pagi ini. Sampai terbersit olehku, aku yang membuatkannya suatu hari nanti. Jujur, meski aku merasa ragu mendampinginya sarapan kali ini. Namun biarlah, kenangan manis seorang sahabat tetap abadi terukir di hati. Dan aku masih bersikap semanis dulu. Sampai Tuhan menghendaki kami mengikrarkan sebuah ikatan suci.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.