UA-83233104-1

Friday, 29 September 2017

Nakal atau Lucu? Orang tua Jangan salah Mengartikan

Nakal atau Lucu


Siapa yang tidak bahagia, memiliki seorang anak yang cerdas, lincah, tumbuh dengan sehat dan yang paling penting, kreatif. Karena sikap kreatif menunjukkan bahwa ia memiliki ketertarikan dengan lingkungan sekitar yang lebih luas dan ia mampu mengkoordinasikannya.

Namun sayang, sikap kreatif versi anak-anak kadang membuat kita sebagai orangtua menganggapnya sebagai sikap yang merepotkan. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kemudian ia melakukan ekplorasi terhadap apa yang dipegangnya. Seperti membongkar mobil
-mobilannya, mulai mencongkel dengan sesuatu benda, menginjak, hingga sikap membanting mainannya, demi ingin mengeluarkan suatu bagian yang tersembunyi di dalamnya. Rasa penasaran menuntutnya harus membongkar mainannya. Apa yang ada di balik pintu mobil-mobilan yang selalu tertutup? Di depan kaca mobil-mobilannya ada gambar orang yang lagi mengemudi, mana orangnya? Belum lagi mobil-mobilan elektrik atau mainan apapun yang diberinya bedak sampai dicelupkannya dalam bak mandi. Semua itu demi rasa ingin tahunya, apakah mobil-mobilannya bisa berenang?

Duh, kalau melihat hal tersebut kadang kita dibuat geram. Bagaimana tidak, mobil mainan yang kita beli dengan harga mahal baru dipakai sehari sudah rusak, rumah berantakan, belum lagi ia yang meminta kita terlibat dalam permainannya, padahal sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki pembantu kita ditunggu  segudang pekerjaan yang seakan tidak pernah ada habisnya.

Sebut saja namanya Devish. Anak pertamaku. Ia tergolong anak laki-laki yang sangat aktif. Bukan hiperaktif. Karena meskipun ia memiliki mobilitas yang tinggi akan tetapi keaktifannya masih dalam batas yang wajar. Anaknya lucu, lincah, dan mempunyai rasa humor yang tinggi.

Sering hal-hal yang menurutnya sebuah lelucon akan tetapi sebaliknya denganku. Aku merasa sangat direpotkannya. Sebagai contoh, pernah suatu ketika aku sedang melipat baju-baju bersih yang habis dijemur. Seperti biasanya ketika aku belum sempat menyetrika, aku selalu meletakkannya pada meja setrika dalam kondisi lipatan yang rapi.

Seperti biasanya, Devish selalu menemaniku pada setiap yang aku lakukan di rumah. Maklum di rumah kami hanya bertiga, yaitu aku, suami dan Devish anakku. Ketika itu adiknya belum lahir. Jadi ketika jam kerja dari pagi hingga sore menjelang magrib hanya ada aku dan Devish. Sehingga ia selalu ikut terlibat dengan apa saja yang aku kerjakan.

Selesai melipat baju aku berniat untuk mengambilkan makan untuk Devish. Karena waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. “Waktunya makan siang”, begitu ucapku dalam hati. Sebelum aku tinggalkan terlebih dahulu aku berpesan kepadanya.

“ Dev. Jangan diacak-acak lagi ya baju yang sudah dilipat Mama!”
pintaku kepadanya.

“Iya. Ma!” jawabnya yang masih asyik memainkan mobil-mobilannya di sebelah meja setrika. Mendengar jawabannya aku lega, aku menganggap ia faham akan apa yang aku maksudkan. Akupun berlalu meninggalkannya menuju ke dapur yang letaknya bersebelahan dengan tempatnya berada.

Belum sampai di dapur, langkahku terhenti. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya ketika aku tidak di sampingnya. Akhirnya aku mencoba mengintip lewat jendela kaca yang letaknya persis di sebelah meja setrika. Meski letaknya persis di depannya berada, akan tetapi ia tidak melihat bahwa aku sedang mengawasinya. Ku lihat Devish berdiri dan berjalan pelan-pelan sambil mengendap-endap mendekati meja setrika. Dan langkahnya terhenti persis di depan meja tersebut.

Tangannya direntangkan. Persis seperti seorang yang akan melakukan olah raga dalam usaha menjaga jarak barisan. Aku trus mengamatinya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Sedetik kemudian, ia memutar badannya, dan,….. Astafirullah, tangannya seakan disengaja diputar untuk mengenai tumpukan baju yang beberapa saat yang lalu aku lipat. Alhasil, dalam sekejap setumpuk baju itu kini terguling dan berserakan di lantai. Spontan ia tersenyum sambil menutup mulutnya. Aku ingin marah. Akan tetapi melihat kepolosannya, dan rasa gelinya melihat apa yang dilakukannya itu aku manjadi tidak tega untuk memerahinya. Aku langsung berlari menuju meja tersebut. Ia masih tertawa cekikikan. Tapi aku tidak. Aku berusaha menahan tertawaku. Tertawa yang bercampur dengan kejengkelan. Aku pura-pura marah dan serius bertanya.

“Hayo siapa yang menjatuhkan tumpukan baju ini?
” tanyaku serius.

“Bukan aku, Ma!” jawabnya tidak merasa bersalah. Aku hanya mengeryitkan kening mendapati usahanya berbohong.

“Tapi, tanganku Ma!”
Jawabnya kemudian sambil senyum-senyum, seraya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Aku tahu maksudnya bergurau. Ia ingin menggodaku. Tapi ia tidak tahu bahwa gurauannya itu sangat merepotkanku.

Akhirnya aku jelaskan kepadanya bahwa apa yang ia lakukan itu tidak baik. Dan iapun mengerti dan minta maaf, sebagai tindakan rasa bersalahnya.

Ada lagi tingkahnya yang membuatku terpingkal-pingkal dan gemes. 

Ohya, sebelumnya aku akan bercerita sedikit tentang keluarga kami. Aku adalah orang Jawa, tepatnya lahir di kota Surabaya. Dimana bahasa yang digunakan dalam keluargaku adalah bahasa Jawa plus Suroboyoan. Sementara suami berasal dari Padang, bahasa yang dipakai dalamkeluarganya adalah bahasa Minang. Tentu saja perbedaan kedua bahasa ini tidak mungkin di campurkan, terutama dalam mengajari anak dalam berbicara. Sebagai ibu aku mengambil jalan tengah yaitu mengajarinya memakai bahasa Indonesia, karena akulah orang yang paling banyak berperan dalam mengajarinya berbahasa, mengingat waktuku yang lebih banyak bertemu dengannya daripada suami. Tujuanku dengan menggunakan bahasa Indonesia aku dan suami sama-sama mengerti tanpa aku harus menterjemahkan kepada suami tentang maksud perkataannya, demikian pula sebaliknya.

Ada permasalahan yang tidak pernah aku duga sebelumnya, yaitu bahwa teman-temannya mayoritas memakai bahasa Jawa. Tapi Alhamdulilah, itu tidak menjadikannya sebagai kendala dalam bergaul dengan mereka. Devish cepat memahami apa maksud dari percakapan teman-temannya. Kendatipun aku tidak pernah mengajarinya berbahasa Jawa. Tapi memang antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sendiri ada beberapa kosakata yang lafalnya hampir sama hanya dengan mengganti huruf konsonan “a” dengan “o”. Hal itu pula yang menjadikan Devish dengan mudahnya menterjemahkan dari bahasa Indonesia menjadi Jawa.
Aku lega ia cepat tanggap akan perbedaan itu. Dan itu pula yang diterapkannya jika akan menggunakan bahasa Jawa.

Aku pernah memperhatikan ketika ia bercengkrama dengan temannya dengan bahasa Jawa. Begini percakapannya yang kucuri dengar darinya.

“Iku opo?” Tanya Devish pada temannya yang ketika itu membawa makanan khas dari daerah lain,  yang maksudnya “itu apa?”. Aku senang meskipun tidak pernah mengajarinya ternyata Deviah belajar dari sistem menganalisa.

Kemudian temannya menjelaskan kepada Devish dalam bahasa Jawa. Dan kulihat Devish mendengarkannya sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti tentang apa yang dimaksud oleh temannya.

“Beropo hargonyo” tanyanya lagi yang membuatku tersenyum. Aneh. Lucu.

Aku tersenyum geli, karena dalam bahasa Jawa tidak ada istilah “beropo”, tetapi “piro” sebuah istilah untuk menanyakan “berapa harganya?”. Tetapi aku berusaha untuk tidak menyalahkannya, aku juga berusaha menahan untuk tidak tertawa. Takut membuatnya tersinggung yang nantinya berakibat membuatnya withdrawal. Suatu sikap menarik diri, dimana yang akan membuatnya tidak mau lagi melakukan hal serupa, karena takut berbuat salah.

“Gini” jawab temannya sambil mengacungkan dua buah jarinya.

“Oo…” Devish mengangguk seakan mengerti maksudnya.

“Dapet piro?” Tanya Devish lagi. Yang maksudnya, “Dapat berapa?”.

“Dapet sak plastic (dapet satu plastik)” jawab temannya sambil mengangkat wadah plastik berisi kue yang dibawanya.

“Wah bonyok yo!” kata Devish merasa heran.

"Ha ha ha…… “Kok bonyok. Apanya yang bonyok?” tanya teman-temannya sambil senyum-senyum. Bukannya bonyok berarti babak belur? Spontan tertawaku lepas, yang diikuti dengan temannya yang lain. Kali ini aku tidak bisa lagi menahan kelucuannya. Devishpun ikut tertawa. Ia tidak tahu bahwa semua temannya menertawakan dirinya.

“Devish, opone sing bonyok?” Tanya temannya menggoda.

“Jajanmu” jawab Devish dengan raut wajah yang masih serius karena belum mengerti tentang kesalahan dalam ucapannya.

“Ha ha ha…..” teman-temannya semakin keras dan terpingkal-pingkal tertawanya.

“Duduk bonyok Vish. Tapi akeh” jawab salah satu temannya yang membuat Devish tersipu malu. Ia tidak mengira bahwa yang sebetulnya ia ingin mengatakan, “wah banyaknya” dalam bahasa Jawa dengan mengganti huruf vocal “a” menjadi “o” ternyata artinya menjadi lain.

Devish. Tidak semua kata-kata dalam bahasa Indonesia dapat diganti hurufnya, dengan maksud menjadi istilah bahasa Jawa. Karena dapat berarti lain” Aku berusaha menjelaskan pada Devish.

“Oo. Begitu ya Ma!” jawabnya mulai mengerti. Aku terus mensuportnya. Bahwa suatu kesahalan tidak boleh membuat kita larut dalam rasa bersalah. Karena justru dengan melakukan kesalahan justru kita menjadi tahu mana yang benar. Lalu aku cium keningnya, tanda rasa bangga. Bangga akan akalnya. Ide kreatifnya.

Sejak saat itu aku perkenalkan dia bahasa Jawa, sedikit demi sedikit. Demi menunjang logika analisanya.
Nah, sikap yang demikian menurut bunda nakal atau lucu?

Apakah anda  tergolong orang tua bijak, yang tak begitu mudah memberi label bahwa anak itu nakal? Ketahuilah bunda, bahwa sikapnya yang sering bikin jengkel bunda adalah hanya sebuah upayanya bahwa ia ingin perhatian.

Noted, jika ingin melarangnya, laranglah dengan penuh kasih sayang. Sering-seringlah memeluknya sebelum batas waktu kau tak pantas lagi memeluknya, karena sebentar lagi ia akan tumbuh dewasa.

Semoga bermanfaat!


Artikel Lainnya:




10 comments:

  1. duhh mbakk artikel ini mak jleb deh...kadang masih sering aja sumbu ini pendek...makasih share ilmunya y mbakk....

    ReplyDelete
  2. hahaha...itulah anak kecil
    semakin di larang semakin rasa ingin tahunya besar
    semua orang tua hrs bisa memahami itu
    kadang kita melihat anak org lain yg aktif itu gak telaten
    pdhl semua anak mmg begitu... begitu jg anak kita

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, cara mengatasi anak itu kadang orang tua terbawa dengan beban permasalahan lain. Hasilnya kadang nggak sesuai dengan harapan, hhehe ...

      Delete
  3. Saya juga awalnya tdk pernah mengajari anak2 berbahasa jawa (karena papanya memnggunakan bahasa indonesia dalam keseharian) nah pas pindah ke purworejo sini anak2 saya jadi harus belajar bahasa jawa dr awal. Tp mereka mudah mengerti kok karena mayoritas teman2nya yg sekarang kan berbahasa jawa. Papanya pun sdh mulai bisa bahasa jawa

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul bund ... kalo lingkungan mendukung, maka bahasa akan lebih mudah dipahami. Salam buat keluarga di Purwokerto ya

      Delete
  4. Hihihi.. Anak2 memang lucu ya. Kadang tantangannya itu hrs bisa tetap serius padahal hati ngikik :��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, orang tua harus kreatif ngadepin anak

      Delete
  5. Anak keduaku suka sekali ngoprek mainan bahkan barang-barang yang baru dibeli. Anaknya suka penasaran sih. Lalu bikin percobaan yang pasti membuat rumah berantakan dan kacau. Kalau pas moodnya baik, kita ngobrol bareng.

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha ... tingkah anak-anak memang suka ngegemesin ya mbak

      Delete

Terimakasih sudah menggunakan blog ini sebagai referensi.